Sunday, October 20, 2013

Konsep Teori Interaksionisme Simbolis (Herbert Blummer)


Saya bermaksud melukiskan hakikat masyarakat dari sudut pandang dengan George Herbert Mead. Dia menempatkan masyarakat pada kedudukan sangat penting, tetapi tak banyak membuat garis besar karakter masyarakat itu. Pusat perhatiannya ialah masalah-masalah filosofis. Perkembangan ide Mead mengenai masyarakat sebagian besar terbatas dalam hal menangani masalah-masalah ini. Pembahasan itu menunjukan bahwa kehidupan kelompok manusia merupakan kondisi yang esensil bagi lahirnya kesadaran, pikiran, dunia obyek-obyek manusia sebagai organisma yang memiliki selves dan kelakuan manusia dalam bentuk tindakan yang dibuat... ketika ia memberikan sumbangan cemerlang mengenai topik ini Mead tidak menyertakan sekalian rancangan skema teoritis tentang masyarakat. Tetapi skema yang demikian hanya tersirat dalam karyanya. Skema ini harus disusun melalui penjajakan implikasi-implikasi masalah inti yang dianalisisnya. (Blummer,1996:56)


Interaksi Simbolis : perspektif dan Metode

Bagi Blumer (1969:2) interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.


Tidak ada yang inheren dalam suatu obyek sehingga ia menyediakan makna bagi manusia. Ambillah sebagai contoh makna yang dapat dikaitkan pada ular. Bagi orang tertentu ular merupakan binatang yang menjijikan, bagi ahli ilmu alam merupakan salah satu mata rantai dalam keseimbangan alam. Apakah seseorang langsung membunuh seekor ular kebun yang tak berdosa atau malah memperhatikan dan terpesona oleh kebesaran alam, bergantung pada makna yang diberikan pada obyek ini. Makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain. Putra seorang yang ahli ilmu alam yang lebih dahulu mengenal bagaimana dunia binatang akan memberikan respon yang sangat berbeda dengan seorang anak yang kontaknya dengan ular berasal dari bacaan buku pertama (taurat) mengenai kisah pertemuan Adam dan Hawa dengan ular jahat itu. Demikian juga dengan semua objek lain yang kita temukan –tidak secara langsung, tetapi dengan makna-makna yang terkait dengannya, makna-makna tersebut berasal dari interaksi orang lain, terutama dengan orang yang dianggap “cukup berarti”. Sebagaimana dinyatakan Blumer (1969: 4-5) “bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu. Tindakan tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain”. Bila orang tua memberi tanggapan positif terhadap anak yang tidak ngeri melihat ular kebun, maka anak tersebut akan meneruskan perilaku yang demikian. Tetapi jika dia disalahkan oleh orang tua dan teman bermainnya, maka yang berubah tak hanya perilaku tetapi juga makna yang dikaitkan pada obyek itu.

Tetapi perlu diingat bahwa hakikat sebagi pecinta dan pembenci ular itu tidak otomatis menginternalisir kedua pengertian ekstrim dari ular sebagai obyek. Blumer (1969:5) menyatakan: “aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi suatu proses pembentukan dimana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan”.

Sebagai ilustrasi marilah kita kita lihat seorang wanita muda yang setiap sore menerima jasa tumpangan pulang dari seorang teman sekerja yang telah beristri. Mungkin dia menerima kebaikan itu tak lebih sebagai tanda persahabatan atau budi baik bertetangga. Suatu sore, sebelum sampai dirumah, lelaki itu menawarkan apakah dia bersedia singgah di restoran, suatu stimulus lain tengah diketengahkan dan harus ditafsirkan wanita itu. Anggaplah wanita muda itu menafsirkan tindakan ini hanya sebagai tanda persahabatan dan bersedia singgah untuk minum. Lelaki itu kemudian membicarakan beberapa kesulitan perkawinannya dan menunjukan bahwa dia menginginkan istrinya agar seperti wanita itu. Kejadian ini ditafsirkan oleh wanita muda itu sebagai undangan agar terlibat dalam “kencan”, paling tidak secara kebetulan, dan mulai menolak jasa-baik teman sekerjanya itu. Karena sudah banyak menolong dan terbuka mencurahkan isi hatinya. Wanita itu mulai mempertanyakan apa sebenarnya motivasi si lelaki. Mungkin sekali dia salah menafsirkan pesan; lelaki tersebut boleh jadi menganggapnya hanya sebagai teman baik. Yang menjadi penting ialah makna yang dikaitkan wanita itu kepada masalah, “apakah anda butuh diantar pulang malam ini ? “, ketimbang masalah itu sendiri.

Menurut blumer tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” (seperti yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis struktural) tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikologis). Blummer (1980:80) menyanggah individu bukan dikelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkan dan membentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah dia membentuk obyek-obyek itu -misalnya berpakaian atau mempersiapkan diri untuk karir profesional- individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusan berdasarka penilaian tesebut, inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol

Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut blumer (1969:81) sebagai proses self-indication. Self-indication adalah “proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut”. Proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial dimana individu mencoba “mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu”. Pertimbangan yang diberikan wanita muda terhadap undangan dari teman sekerja itu dihubungan dengan konteks dimana hal itu disampaikan dan pengalaman-pengalaman sebelumnya, yang membuat dia bisa menilai masalah dan memberinya makna, kemudia memberi tanggapan berdasarkan makna tersebut.

Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan mana saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionalis sebagai struktur sosial. Blumer (1969:17) lebih senang menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau pengorganisasian secara sosial tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda pula. Setiap tindakan berjalan dalam bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual dari oran lain. Bagi Blumer tindakan lebih dari hanya sekedar performance tunggal yang diuraikan dalam penjelasan “impression management” Goffman. Orang terlihat dalam tindakan bersama yang merupakan struktur sosial . lembaga seperti gereja, korporasi, bisnis, atau keluarga hanya merupakan “kolektivitas yang terlihat dalam tindakan bersama” tetapi lembaga-lembaga tersebut bukan merupakan struktur-struktur yang statis, sebab pertalian perilaku tidak pernah identik (walau mereka mungkin serupa) sekalipun pola-pola sudah ditretapkan sedemikian rupa. Ambillah sebagai contoh keluarga yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan satu anak. Dari hari ke hari keluarga tersebut berada dalam proses kehidupan yang kontinyu. Hubungan perkwinan ketika sang anak berusia dua bulan bisa sangat berbeda dengan saat si anak berusia tujuh tahun. Demikian juga dengan karir suami, bisa memperoleh arti yang sangat penting ketika ia sedang mendaki jenjang organisasi yang juga mempengaruhi kehidupan keluarganya. Tidak ada definisi peranan: suami, peranan istri atau peranan orang tua yang sederhana. Mereka tetap berkembang dalam konteks struktur kekeluargaan yang tetap berubah-ubah dan memberikan tanggapan pada interaksi-interaksi simbolis dalam unit keluarga. Blumer (1969:19) menegaskan proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menghancurkan kehidupan kelompok. Dengan kata lain norma-norma, seperti yang dibahas oleh kaum fungsional struktural, tidaklah menentukan perilaku individu; individu bertindak selaras demi menyanggah norma-norma atau aturan perilaku. Kaum fungsionalis struktural menekankan bahwa manusia merupakan produk dari masing masing masyarakatnya; kaum interaksi simbolis menekankan sisi yang lain bahwa struktur sosial merupakan hasil dari interaksi manusia

Review
Interaksionalisme Simbolis merupakan sisi lain dari pandangan yang melihat individu sebagai produk yang ditentukan oleh masyarkat konseptualisasi “diri” dianggap sedang mengalami proses dan tidak benar benar menyesuaikan diri dengan apa yang dicitakan, yaitu manusia “kaum fungsionalis” yang terlalu disosialisir. Orang menerapkan makna subyektif pada dunia obyek mereka, daripada hanya menerima penafsiran realitas subyektif yang telah diranang sebelumnya. Kemudian struktur sosial dilihat sebagai produk interaksi bersama para anggota yang dipostulatkan oleh Emile Durkheim dan kaum fuingsionalis yang dewasa ini merupakan para pengikutnya. Kelompok adalah orang-orang yang terlibat dalam interaksi.

Tindakan-tindakan bersama yang mampu membentuk struktur atau lembaga itu hanya mungkin disebabkan oleh interaksi interaksi simbolis, yang dalam menyampaikan makna menggunakan isyarat dan bahasa. Melalui simbol-simbol yang berarti, simbol-simbol yang telah memiliki makna, obyek-obyek yang dibatasi dan ditafsirkan. Melalui proses interaksi makna-makna tersebut disampaikan pada pihak lain.

Premis premis teoritis interaksionisme simbolis Blumer ini membimbingnya dalam menetapkan garis besar metodologis penelitian. Tindakan sosial harus dilihat sebagi suatu proses dan sehubungan dengan bagaimana tindakan itu tebentuk. Karena organisasi atau struktur sosial dilihat sebagai tindakan organisasi. Interaksionisme simbolis mencoba menjelaskan bagaimana cara partisipan membatasi, menafsirkan dan menangkap situasi-situasi, yang kemudian memperlancar pembentukan struktur atau perubahannya. Dalam penelitian empiris hakikat prosesual pembentukan “diri” dan struktur sosial tidak boleh diabaikan.

sumber : Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, 1979

No comments:

Post a Comment