Sunday, October 20, 2013

Konsep Teori Struktural Fungsionalisme (Robert K. Merton)

Fungsionalisme Struktural Sebagai Teori : Akhir dari Suatu Masa kejayaan

Aspek-aspek sosiologi yang biasa dipergunakan sebagai tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk krisis ialah: perubahan dan pertikaian doktrin yang diikuti oleh ketegangan yang semakin parah, dan kadang kala pertentangan yang kasar, diantara para praktisi pertikaian tersebut mencakup tuntutan yang kuat bahwa paradigma yang ada tidak lagi mampu memcahkan masalah yang seharusnya, dalam prinsip, dapat mereka pecahkan. (Merton 1975:22)


Struktur Sosial dalam Fungsionalisme Robert K. Merton

Model analisa Robert K. Merton merupakan hasil dari perkembangan pengetahuannya yang menyeluruh tentang teori-teori klasik. Karya awal Merton sangat dipengaruhi oleh Max Weber. Merton sendiri tidak memiliki teori yang bulat, tetapi esai-esai yang mencoba menyempurnakan aspek tulisan-tulisan klasik. Di dalam keseluruhan tulisannya kita menemukan suatu tema yang menonjol yaitu, “arti pentingnya memusatkan perhatian pada struktur sosial dalam analisa sosiologis”. Pengaruh weber juga dapat dilihat dalam batasan Merton (1957 tentang birokrasi modern seperti hal berikut:
  1. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
  2. Meliputi suati pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
  3. Kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi.
  4. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis.
  5. Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang hirarkis.
  6. Berbagai kewajiban serta hak hak did alam birokrasi dibatasi oleh atiran-aturan yang terbatas.
  7. Otoritas pada jabatan bukan orang
  8. Hubungan-hubungan antara orang orang dibatasi secara formal.

Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur birokratis. Struktur birokratis memberi tekanan kepada individu sehingga mereka menjadi “disiplin, bijaksana, metodis”. Tetapi jika metode ini dijalankan secara berlebih-lebihan maka akan menimbulkan fungsi yang negatif. Hal ini bisa menjurus konflik atau ketegangan antara birokrat dan orang-orang yang harus mereka layani. Struktur birokratis dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat untuk apa peraturan itu ditetapkan.

Tema dampak lembaga terhadap kehidupan anggotanya juga dikemukakan Merton dalam buku “Social Structure and Anomie” (1938). Disini Merton berusaha menunjukan “bagaimana sejumlah struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukan kelakuan non konformis daripada konformis” (Merton 1938:672). Anomie adalah hasil dari keadaan yang tidak serasi antara tujuan-tujuan kultural dan sarana kelembagaan yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Anomi tidak akan muncul sejauh masyarakat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultural tersebut. Dengan demikian, anomie bukan merupakan konsep psikologis yang dapat dijelaskan lewat teori psikologi, konsep ini lebih merupakan masalah struktural dan kultural yang menuntut penjelasan sosiologis.

“Paradigma Analisa Fungsional” Merton

Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukan beberapa asumsi kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mencoba membuat batasan konsep analitis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat didalam asumsi-asumsi kaum fungsional. Merton mengutip tiga asumsi yang terdapat didalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya. Pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur” (Merton 1967:80). Asumsi kedua, yaitu fungsionalisme universal, berkaitan dengan asumsi pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton 1967:84). Asumsi ketiga, adalah asumsi indispensability, ia menyatakan bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton 1967:86). Merton juga menulis : “pendek kata postulat indispensability sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi tertentu yang bersifat mutlak dalam pengertian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau kelompok maupun individu) tidak akan ada. Hal ini selanjutnya melahirkan konsep prasyarat fungsional atau prakondisi-prakondisi yang secara fungsional perlu bagi eksistensi suatu masyarakat, suatu konsep yang kelak akankita kaji secara lebih terperinci. Kedua, yang merupakan bentuk-bentuk sosial atau kultural tertentu adalah mutlak untuk memenuhi masing-masing fungsi tersebut” (Merto 1967:87)

Didalam menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu, Merton menyatakan bahwa (1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya integrasi masayarakat yang benar-benar tuntas, (2) kita harus mengakui baik disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif berasal dari suatu elemen kultural, dan (3) kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa fungsional.

Kecuali sanggahannya terhadap ketiga postulat tersebut, Merton masih mengutamakan masalah lain dalam fungsionalisme yang mentah itu, khususnya kesimpangsiuran antara “motivasi-motivasi yang disadari” dan “konsekuensi-konsekuensi objektif”. Merton menyatakan bahwa masalah utama bagi para ahli sosiologi adalah konsekuensi obyektif, bukannya motivasi. Tetapi konsekuensi yang dapat berupa konsekuensi manifes atau laten: “fungsi manifes adalah konsekuensi obyektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para partisipan dalam sistem tersebut, sedang fungsi laten adalah fungsi yang tidak disadari” (Merton 1967:115).perhatian penelitian sosiologi selama ini telah diarahkan ke fungsi manifes, tetapi jika tidak memperhatikan fungsi laten, itu adalah contoh yang menyesatkan. Salah satu contoh dari kedua fungsi ini adalah pembelian sebuah mobil, dalam fungsi manifes mobil digunakan untuk pergi ke tempat kerja, tetapi dalam fungsi laten, mobil digunakan untuk mempertontonkan kekayaan dan status kepada masyarakat. Setiap praktek kebudayaan dapat dianalisa dari perspektif fungsi laten dan manifes ini.

Setelah meninjau masalah yang dihadapi oleh kaum fungsionalis itu, Merton selanjutnya mengetengahkan sebuah model atau paradigma yang bukat, yang dapat menghindarkan diri dari semua kelemahan tersebut. Yaitu dengan mengajukan pertanyaan pertanyaan yang harus dijawab didalam analisa.
  1. Bagaimana hakikat sistem yang sedang dianalisa? Apakah ia merupakan suatu kelompok etnis atau kultural tertentum sebuah kelompok kecil atau suatu organisasi yang besar? Hal ini perlu dijelaskan lebih dulu, karena suatu fungsional bagi suatu kelompok belum tentu sama fungsionalnya dengan kelompok yang lain.
  2. Apakah ada fungsi manifes maupun laten yang harus dipertimbangkan? Sebagaimana yang telah diuraikan dalam contoh mengenai pembelian mobil tersebut. Fungsi-fungsi tersebut tidak selalu dimaksudkan atau harus diketahui oleh mereka yang berperan serta di dalam suatu sistem.
  3. Bagaimana kita menentukan bahwa suatu “persyaratan fungsional” harus ada dalam suatu sistem tertentu? Merton menolak anggapan bahwa untuk tetap hidup semua sistem harus memenuhi seperangkat persyaratan fungsional. Disini merton mengingatkan akan perlunya para penganut analisa fungsional memperhatikan alternatif-alternatif fungsional
  4. Apakah minat kaum fungsionalis terhadap isu tentang keteraturan merintangi kemampuan mereka untuk melihat ketidakseimbangan? Didalam memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif, Merton mengingatkan kaum fungsionalis akan kemungkinan terjadinya perubahan sosial oleh karena suatu praktek kebudayaan atau norma yang ada bertentangan dengan sistem sosial.
Merton menjelaskan dalam konsep-konsepnya tentang kekeliruan dalam fungsionalisme yang mentah, dan mengangkat beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka yang menganut analisa fungsionalis. Untuk menjawabnya kaum fungsionalis harus mengingat bahwa apa yang mungkin fungsional bagi suatu kelompok boleh jadi tidak demikian bagi kelompok lain. Lebih daripada itu para sosiolog juga harus waspada untuk tidak melupakan fungsi laten ketika sedang asyik menggunakan fungsi manifes yang jelas terlihat. Karena praktek kebudayaan bisa saja tidak secara total bersifat integratif atau disintegratif, maka penilaian fungsionalitasnya harus dilihat dalam konteks keseimbangan konsekuensi-konsekuensinya.

Review

sampai saat ini, fungsionalis dalam teori sosiologi Amerika masih merupakan perpesktif yang dominan. lewat karya Herbert Spencer dan Emile Durkheim, tradisinya dapat ditelusuri pada "Bapak" Sosiologi yaitu Auguste Comte. Malinowski dan Radcliffe Brown, sebagai antropolog yang terkenal, sangat dipengaruhi oleh teori Durkheim. mereka kemudian mempengaruhi sosiolog Amerika, yaitu Talcot Parsons. sebagai instruktur muda Parsons memperkenalkan karya Emile Durkheim dan perspektif fungsionalisme kepada Robert K. Merton, salah seorang muridnya di universitas Harvard.

Merton telah menghabiskan karir sosiologisnya dalam mempersiapkan dasar struktur fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan dalam mengajukan model atau paradigma bagi analisa struktural. Dia menolak postulat-postulat fungsionalisme yang masih mentah, yang menyebarkan paham “kesatuan masyarakat yang fungsional”, “fungsionalisme universal”, dan “indespensability”. Merton mengetengahkan konsep disfungsi, alternatif fungsional dan konsekuensi keseimbangan fungsional, serta fungsi manifes dan laten yang dirangkainya ke dalam suatu paradigma fungsionalis. Walaupun kedudukan model ini berada di atas postulat-postulat fungsionalisme yang lebih awal, tetapi kelemahannya masih tetap ada. Masyarakat dilihat sebagai keseluruhan yang lebih besar dan berbeda dengan bagiannya. Individu dilihat dalam kedudukan abstrak, sebagai pemilik status dan peranan yang merupakan struktur. Konsep abstrak ini memperbesar tuduhan bahwa paradigma tersebut mustahil untuk diuji

sumber : Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, 1979

No comments:

Post a Comment