Fungsionalisme Struktural Sebagai Teori : Akhir dari Suatu Masa
kejayaan
Aspek-aspek sosiologi yang biasa dipergunakan sebagai tanda-tanda dan
petunjuk-petunjuk krisis ialah: perubahan dan pertikaian doktrin yang diikuti
oleh ketegangan yang semakin parah, dan kadang kala pertentangan yang kasar,
diantara para praktisi pertikaian tersebut mencakup tuntutan yang kuat bahwa
paradigma yang ada tidak lagi mampu memcahkan masalah yang seharusnya, dalam
prinsip, dapat mereka pecahkan. (Merton 1975:22)
Struktur Sosial dalam
Fungsionalisme Robert K. Merton
Model
analisa Robert K. Merton merupakan hasil dari perkembangan pengetahuannya yang
menyeluruh tentang teori-teori klasik. Karya awal Merton sangat dipengaruhi
oleh Max Weber. Merton sendiri tidak memiliki teori yang bulat, tetapi
esai-esai yang mencoba menyempurnakan aspek tulisan-tulisan klasik. Di dalam
keseluruhan tulisannya kita menemukan suatu tema yang menonjol yaitu, “arti
pentingnya memusatkan perhatian pada struktur sosial dalam analisa sosiologis”.
Pengaruh weber juga dapat dilihat dalam batasan Merton (1957 tentang birokrasi
modern seperti hal berikut:
- Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
- Meliputi suati pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
- Kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi.
- Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis.
- Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang hirarkis.
- Berbagai kewajiban serta hak hak did alam birokrasi dibatasi oleh atiran-aturan yang terbatas.
- Otoritas pada jabatan bukan orang
- Hubungan-hubungan antara orang orang dibatasi secara formal.
Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur birokratis. Struktur birokratis memberi tekanan kepada individu sehingga mereka menjadi “disiplin, bijaksana, metodis”. Tetapi jika metode ini dijalankan secara berlebih-lebihan maka akan menimbulkan fungsi yang negatif. Hal ini bisa menjurus konflik atau ketegangan antara birokrat dan orang-orang yang harus mereka layani. Struktur birokratis dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat untuk apa peraturan itu ditetapkan.
Tema dampak
lembaga terhadap kehidupan anggotanya juga dikemukakan Merton dalam buku
“Social Structure and Anomie” (1938). Disini Merton berusaha menunjukan “bagaimana
sejumlah struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang
tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukan kelakuan
non konformis daripada konformis” (Merton 1938:672). Anomie adalah hasil dari keadaan yang tidak serasi antara
tujuan-tujuan kultural dan sarana kelembagaan yang tersedia untuk mencapai
tujuan-tujuan itu. Anomi tidak akan muncul sejauh masyarakat menyediakan sarana
kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultural tersebut. Dengan demikian,
anomie bukan merupakan konsep psikologis yang dapat dijelaskan lewat teori
psikologi, konsep ini lebih merupakan masalah struktural dan kultural yang
menuntut penjelasan sosiologis.
“Paradigma Analisa Fungsional” Merton
Merton
memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukan beberapa asumsi kabur yang
terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mencoba membuat batasan konsep
analitis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian
arti yang terdapat didalam asumsi-asumsi kaum fungsional. Merton mengutip tiga
asumsi yang terdapat didalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya.
Pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai
“suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam
suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai tanpa
menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur”
(Merton 1967:80). Asumsi kedua, yaitu fungsionalisme
universal, berkaitan dengan asumsi pertama. Fungsionalisme universal
menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki
fungsi-fungsi positif” (Merton 1967:84). Asumsi ketiga, adalah asumsi indispensability, ia menyatakan bahwa
“dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil dan
kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang
harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan sistem sebagai keseluruhan” (Merton 1967:86). Merton juga menulis :
“pendek kata postulat indispensability
sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan,
tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi
tertentu yang bersifat mutlak dalam pengertian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan,
maka masyarakat (atau kelompok maupun individu) tidak akan ada. Hal ini
selanjutnya melahirkan konsep prasyarat fungsional atau prakondisi-prakondisi
yang secara fungsional perlu bagi eksistensi suatu masyarakat, suatu konsep
yang kelak akankita kaji secara lebih terperinci. Kedua, yang merupakan
bentuk-bentuk sosial atau kultural tertentu adalah mutlak untuk memenuhi
masing-masing fungsi tersebut” (Merto 1967:87)
Didalam
menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu, Merton menyatakan bahwa
(1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya integrasi masayarakat yang
benar-benar tuntas, (2) kita harus mengakui baik disfungsi maupun konsekuensi
fungsional yang positif berasal dari suatu elemen kultural, dan (3) kemungkinan
alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa fungsional.
Kecuali
sanggahannya terhadap ketiga postulat tersebut, Merton masih mengutamakan
masalah lain dalam fungsionalisme yang mentah itu, khususnya kesimpangsiuran
antara “motivasi-motivasi yang disadari” dan “konsekuensi-konsekuensi
objektif”. Merton menyatakan bahwa masalah utama bagi para ahli sosiologi
adalah konsekuensi obyektif, bukannya motivasi. Tetapi konsekuensi yang dapat
berupa konsekuensi manifes atau laten: “fungsi manifes adalah konsekuensi obyektif
yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan disadari oleh para
partisipan dalam sistem tersebut, sedang fungsi laten adalah fungsi yang tidak
disadari” (Merton 1967:115).perhatian penelitian sosiologi selama ini telah
diarahkan ke fungsi manifes, tetapi jika tidak memperhatikan fungsi laten, itu
adalah contoh yang menyesatkan. Salah satu contoh dari kedua fungsi ini adalah
pembelian sebuah mobil, dalam fungsi manifes mobil digunakan untuk pergi ke
tempat kerja, tetapi dalam fungsi laten, mobil digunakan untuk mempertontonkan
kekayaan dan status kepada masyarakat. Setiap praktek kebudayaan dapat
dianalisa dari perspektif fungsi laten dan manifes ini.
Setelah
meninjau masalah yang dihadapi oleh kaum fungsionalis itu, Merton selanjutnya
mengetengahkan sebuah model atau paradigma yang bukat, yang dapat menghindarkan
diri dari semua kelemahan tersebut. Yaitu dengan mengajukan pertanyaan
pertanyaan yang harus dijawab didalam analisa.
- Bagaimana hakikat sistem yang sedang dianalisa? Apakah ia merupakan suatu kelompok etnis atau kultural tertentum sebuah kelompok kecil atau suatu organisasi yang besar? Hal ini perlu dijelaskan lebih dulu, karena suatu fungsional bagi suatu kelompok belum tentu sama fungsionalnya dengan kelompok yang lain.
- Apakah ada fungsi manifes maupun laten yang harus dipertimbangkan? Sebagaimana yang telah diuraikan dalam contoh mengenai pembelian mobil tersebut. Fungsi-fungsi tersebut tidak selalu dimaksudkan atau harus diketahui oleh mereka yang berperan serta di dalam suatu sistem.
- Bagaimana kita menentukan bahwa suatu “persyaratan fungsional” harus ada dalam suatu sistem tertentu? Merton menolak anggapan bahwa untuk tetap hidup semua sistem harus memenuhi seperangkat persyaratan fungsional. Disini merton mengingatkan akan perlunya para penganut analisa fungsional memperhatikan alternatif-alternatif fungsional
- Apakah minat kaum fungsionalis terhadap isu tentang keteraturan merintangi kemampuan mereka untuk melihat ketidakseimbangan? Didalam memperkenalkan konsep disfungsi maupun fungsi positif, Merton mengingatkan kaum fungsionalis akan kemungkinan terjadinya perubahan sosial oleh karena suatu praktek kebudayaan atau norma yang ada bertentangan dengan sistem sosial.
Merton menjelaskan dalam konsep-konsepnya tentang kekeliruan dalam
fungsionalisme yang mentah, dan mengangkat beberapa pertanyaan yang harus
dijawab oleh mereka yang menganut analisa fungsionalis. Untuk menjawabnya kaum
fungsionalis harus mengingat bahwa apa yang mungkin fungsional bagi suatu
kelompok boleh jadi tidak demikian bagi kelompok lain. Lebih daripada itu para
sosiolog juga harus waspada untuk tidak melupakan fungsi laten ketika sedang
asyik menggunakan fungsi manifes yang jelas terlihat. Karena praktek kebudayaan
bisa saja tidak secara total bersifat integratif atau disintegratif, maka
penilaian fungsionalitasnya harus dilihat dalam konteks keseimbangan
konsekuensi-konsekuensinya.
Review
sampai
saat ini, fungsionalis dalam teori sosiologi Amerika masih merupakan perpesktif
yang dominan. lewat karya Herbert Spencer dan Emile Durkheim, tradisinya dapat
ditelusuri pada "Bapak" Sosiologi yaitu Auguste Comte. Malinowski dan
Radcliffe Brown, sebagai antropolog yang terkenal, sangat dipengaruhi oleh
teori Durkheim. mereka kemudian mempengaruhi sosiolog Amerika, yaitu Talcot
Parsons. sebagai instruktur muda Parsons memperkenalkan karya Emile Durkheim
dan perspektif fungsionalisme kepada Robert K. Merton, salah seorang muridnya
di universitas Harvard.
Merton
telah menghabiskan karir sosiologisnya dalam mempersiapkan dasar struktur
fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan dalam mengajukan
model atau paradigma bagi analisa struktural. Dia menolak postulat-postulat
fungsionalisme yang masih mentah, yang menyebarkan paham “kesatuan masyarakat
yang fungsional”, “fungsionalisme universal”, dan “indespensability”. Merton mengetengahkan
konsep disfungsi, alternatif fungsional dan konsekuensi keseimbangan
fungsional, serta fungsi manifes dan laten yang dirangkainya ke dalam suatu
paradigma fungsionalis. Walaupun kedudukan model ini berada di atas
postulat-postulat fungsionalisme yang lebih awal, tetapi kelemahannya masih tetap
ada. Masyarakat dilihat sebagai keseluruhan yang lebih besar dan berbeda dengan
bagiannya. Individu dilihat dalam kedudukan abstrak, sebagai pemilik status dan
peranan yang merupakan struktur. Konsep abstrak ini memperbesar tuduhan bahwa
paradigma tersebut mustahil untuk diuji
sumber : Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, 1979
No comments:
Post a Comment